Senin, 13 Februari 2012

PASEBAN TRIPANCA TUNGGAL CIGUGUR KUNINGAN


gedung paseban tripanca tunggal

Paseban Tri Panca Tunggal adalah sebuah cagar budaya nasional di daerah Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang menyerupai sebuah padepokan dan tempat menimba ilmu budi dan kebatinan serta seni budaya, yang didirikan oleh Pangeran Sadewa Madrais  Alibasa, pewaris tahta Kepangeranan Gebang, Cirebon Timur, pada tahun 1840.

Paseban Tri Panca Tunggal berasal dari kata Paseban yang berarti tempat pertemuan, Tri yang terdiri rasa – budi – pikir, Panca adalah panca indera, dan Tunggal adalah yg Maha Tunggal. Arti filosofisnya, ketika manusia bisa mengharmoniskan, menyelaraskan atau menyeimbangkan rasa – budi – pikir, lalu menerjemahkannnya melalui panca indera ketika mendengar, melihat, berbicara, bersikap, bertindak, melangkah, maka itulah yg akan memanunggalkan manusia dengan Yang Maha Tunggal.

Ruangan bagian depan sebelah kiri  disebut Pendopo, dengan payung kerajaan di sebelah kanan. Di tengah terdapat lambang burung Garuda yang tengah mengepak sayap, berdiri di atas lingkaran bertuliskan huruf Sunda “Purwa Wisada”, yang disangga oleh sepasang naga bermahkota yang ekornya saling mengait. Di tengah lingkaran terdapat sebuah simbol, yang tampaknya merupakan lambang Tri Panca Tunggal.

Pendopo menggambarkan keadaan ketika manusia sudah lahir di alam dunia. Karenanya tangga pada pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini aslinya ada 5 buah, melambangkan panca indera yang harus menjadi saringan bagi manusia, baik yang bersumber dari dalam ke luar atau pun dari luar ke dalam.
Ruang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini ditopang oleh 11 pilar, dengan dasar tiang berbentuk lingkaran. Ruangan lain di Paseban Tri Panca Tunggal adalah Ruang Jinem, Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung (ruang kerja Pangeran Jatikusumah), dan Dapur Ageng. Di Dapur Ageng yang saat itu masih direnovasi, terdapat tungku perapian berhias naga di keempat sudutnya dan di atasnya terdapat hiasan mahkota.

Di sebelah belakang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal terdapat ruang Sri Manganti yang digunakan sebagai tempat pertemuan, seperti persiapan upacara Seren Taun yang diselenggarakan setahun sekali. Ruang Sri Manganti Paseban Tri Panca Tunggal juga dipergunakan sebagai tempat untuk menerima tamu, dan upacara pernikahan. Ruang Sri Manganti di Paseban Tri Panca Tunggal adalah ruang rasa di mana manusia harus menemukan sebuah kebijakan dalam hidup.

Ruangan lain di Paseban Tri Panca Tunggal adalah Ruang Jinem, Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung (ruang kerja Pangeran Jatikusumah), dan Dapur Ageng. Di Dapur Ageng yang saat itu masih direnovasi, terdapat tungku perapian berhias naga di keempat sudutnya dan di atasnya terdapat hiasan mahkota.

Ruang Jinem, menggambarkan proses penciptaan, dimana ada karakter dan pengaruh 4 unsur, yaitu tanah, air, angin, dan api. Ruangan Jinem ini cukup luas dengan empat buah soko guru berukuran besar terbuat dari beton dengan umpak berukir, dan beberapa pilar kayu yang juga berukir halus di beberapa bagiannya.
Bangunan gedung Paseban Tri Panca Tunggal, dengan atap bertingkat dan di puncaknya terdapat tonggak ulir berujung kelopak dan bulir bunga berbentuk bulat gemuk lonjong yang menyerupai roket terbalik. Bangunan Paseban Tri Panca Tunggal ini telah mengalami renovasi pada 1971 dan 2007.

Kepangeranan Gebang diserbu dan dibumihanguskan oleh VOC karena berkali-kali Pangeran Kiai Sadewa Madrais Alibasa melawan kehendak Voc, gelar kepangeranan pun dicabut, dan wilayah Gebang yang mencakup daerah Ciawi sampai ke perbatasan Cilacap akhirnya dibagi-bagi untuk Keraton Kanoman, Kacirebonan dan Kasepuhan.

Setelah Kepangeranan Gebang dibumihanguskan oleh VOC, satu-satunya putra mahkota yang masih hidup adalah Pangeran Sadewa Madrais Alibasa, yang ketika itu masih kanak-kanak.
Pangeran Madrais kemudian dititipkan pada Ki Sastrawardhana yang tinggal di Cigugur, dengan pertimbangan keamanan dan karena Cigugur pernah pula digunakan oleh Tentara Mataram sebagai basis ketika menyerang VOC di Batavia. Di usia 18 tahun, di tahun 1840, Pangeran Madrasi membangun gedung Paseban ini.

Semasa hidupnya Pangeran yang lebih dikenal sebagai Kyai Madrais itu memberi ajar kerohanian dan agama, namun sempat bermasalah karena adanya perbedaan dengan ajaran baku, dan setelah identitasnya diketahui oleh Belanda ia pun difitnah dan diasingkan ke Merauke pada tahun 1901-1908.
 Kyai Madrais meninggal tahun 1939, dan dimakamkan di Pemakaman Pasir, Cigugur. Paseban Tri Panca Tunggal kemudian dipimpin oleh Pangeran Tedjabuwana Alibasa sampai tahun 1964, dan dilanjutkan Pangeran Djati Kusumah, sampai akhirnya diserahkan ke Pangeran Gumirat Barna Alam.

Minggu, 12 Februari 2012

SEJARAH DAN NILAI KEKERAMATAN KABUYUTAN GALUNGGUNG


Sejarah Kabuyutan Galunggung

Jika masyarakat Arabia mengenal Mekkah dan Yerusalem sebagai wilayah keramat, maka di tatar Sunda orang mengenal Galunggung sebagai sebuah kabuyutan.

Di Mekkah terdapat 'maqom' (bekas petilasan) Ibrahim, maka di Galunggung terdapat 'sanghyang tapak Parahyangan' (bekas petilasan para leluhur awal).

Seorang sesepuh bernama Aki Anang alias Raden Anang Daryan Jayadikusumah" (1926 - 2000), pemimpin kelompok kebatinan 'jati Sunda' yang juga keturunan Batara di Galunggung, pernah menuturkan berita turun-temurun kurang lebih sebagai berikut :
 

Bahwasanya pada jaman yang telah lampau sekali, tatar Sunda adalah daerah perairan yang hanya terdapat satu daratan yang tidak terlalu luas (jaman air). Daerah tertinggi dari daratan itu adalah puncak dari sebuah gunung yang kini disebut Galunggung. Pada jaman itu puncak Galunggung adalah daratan tertinggi di tatar Sunda.
 

Pada hari yang diberkahi, tibalah sebuah perahu besar yang memuat banyak sekali manusia dan hewan peliharaan. Sebagian orang-orang perahu itu turun dan tinggal menetap membangun komunitas manusia yang baru. Itulah nenek moyang manusia Sunda sekarang, dan menjadikan Galunggung sebagai sebuah kabuyutan atau 'sanghyang tapak Parahyangan'.

Galunggung sebagai sebuah kabuyutan nyata disebut dalam guratan naskah lontar yang temukan di Ciburuy, Garut, yakni sebuah naskah yang setelah diteliti merupakan naskah lontar tertua di Indonesia dengan kode Kropak 632. Kropak 632 ini diperkirakan dibuat pada tahun 1030-an masehi.
 

Dalam naskah itu diberitakan bahwa Rakeyan Darmasiksa memberikan petuah kepada anak cucunya tentang pegangan hidup, dan bahwa kabuyutan di Galunggung harus dijaga dan dipertahankan agar tidak dikuasai oleh orang asing (Danasasmita, 2006).
 

Pesan Sang Darmasiksa bahwa Galunggung jangan sampai dikuasai orang asing nampaknya mirip dengan larangan bagi kaum non muslim memasuki tanah al Haram di Makkah (tanah larangan di Mekkah, Arab Saudi).
 

Mengapa kabuyutan perlu dijaga, tentulah karena kabuyutan adalah cikal dan simbol jatidiri. Rusaknya kabuyutan Galunggung berarti pudarnya jatidiri dan nilai-nilai asli yang khas dari masyarakat Sunda! Pesan Rakeyan Darmasiksa yang termuat dalam Kropak 632 dibukukan oleh Atja (1929-1991) dan Saleh Danasasmita (1933--1986) dengan judul 'Amanat Galunggung' (diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Musium Jawa Barat).

Wibawa Galunggung sebagai sebuah kabuyutan, nampak pula dari petikan 'Babad Tanah Jawi ' dan 'Carita Parahyangan', bahwasanya putra sulung Raja Galuh yang bernama Sempak Waja menjadi Batara (raja pandita) di Galunggung dengan gelar Batara Dangiang Guru, yang melantik raja-raja yang akan berkuasa.
 

Kedudukan Batara di Galunggung yang amat tinggi didukung pula oleh penemuan naskah kuno lain dengan kode Kropak 406, yang isinya menerangkan kurang lebih sekitar tahun 1030-an, datanglah Darmasiksa (Sri Jayabupati) menghadap Batara keturunan Batara Dangiang Guru Sempak Waja, meminta wilayah yang kemudian diberi nama oleh Batara yang berkuasa itu sebagai 'tempat tinggal Sang Karma' (Saunggalah). Darmasiksa atau Sri Jayabupati menurut Carita Parahyangan adalah anak dari Sang Lumahing Winduraja. Sedangkan menurut naskah Pangeran Wangsakerta, Jayabupati adalah Raja Sunda ke-20 yang memerintah tahun 1030-1042 (Ekadjati, 2005).

Demikianlah Galunggung disebut sebagai kabuyutan, sebagai 'sanghyang tapak Parahyangan' yang sangat dikeramatkan dan dijaga oleh para 'raja pandita' (Batara) yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi di atas raja-raja biasa.

Kabuyutan-kabuyutan lain yang muncul terkemudian, yang merupakan 'turunan' dari kabuyutan Galunggung banyak tersebar di wilayah Jawa Barat, diantaranya Denuh, Ciburuy, Sumedang, Linggawangi, dan Panjalu. Seperti halnya di Galunggung, kabuyutan-kabuyutan ini pun dipimpin oleh raja pandita bergelar Batara.

PARA BATARA DI GALUNGGUNG

Membahas kabuyutan Galunggung tidak bisa lepas dari topik para Batara yang mendudukinya. Sejauh ini naskah-naskah kuno paling banyak menyebutkan nama 'Batara Dangiang Guru Sempak Waja' yang menjadi Batara di Galunggung. Batara-batara lain sesudahnya pun kadang disebut dengan menyertakan nama besar Dangiang Guru Sempak Waja, seperti halnya yang tertulis pada Kropak 406 di atas.

Dari Prasasti yang ditemukan di Gegerhanjuang, Tasikmalaya, diketahui nama seorang Batara wanita. Mungkin Batara wanita satu-satunya, bernama Batari Hyang, yang pada tahun 1111 mengubah bentuk kebataraan menjadi kerajaan, yaitu Kerajaan Galunggung.
 

Menurut versi lokal, diketahui setidaknya enam orang Batara yang memerintah setelah Batari Hyang tahun 1111, dan tidak diketahui jumlah Batara sebelum masanya.
 



Para Batara penguasa Galunggung yang dikenal masyarakat lokal diantaranya Batari Hyang, Batara Sempakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, dan Batara Wastuhayu. Versi keluarga R. Anang Daryan Jayadikusumah menambahkan nama Batara Gunawisesa.

Batara Gunawisesa adalah kakak sulung Batara Kuncung Putih. Adik-adik Batara Gunawisesa dari yang tertua hingga yang termuda adalah Wahyu Cakraningrat (makam di Curug Tujuh Galunggung), Ambu Sarigan (makam di Dinding Ari Galunggung), Ambu Hawuk alias Nyi Mas Garsih (makam di Dinding Ari Galunggung), dan Batara Kuncung Putih (makam di Kawah Galunggung).

Menindaklanjuti informasi dari prasasti Gegerhanjuang bahwasanya pada tahun 1111 masehi terjadi perubahan bentuk pemerintahan dari bentuk kebataraan menjadi kerajaan, tentulah menimbulkan pertanyaan mengenai perbedaan kedua bentuk pemerintahan tersebut.
 

Sejauh ini belum ada rujukan pustaka yang menerangkan hal itu.. Namun menurut hemat Penulis, barangkali bentuk kebataraan dapat dimisalkan dengan bentuk kepausan katolik sekarang ini yang berkedudukan di Roma. Italia, yakni pemerintahan setingkat negara (bahkan lebih dari itu) yang hanya mengurusi keruhanian masyarakat. Kemudian barulah pada tahun 1111 masehi, yakni pada jaman Batari Hyang, Batara tidak hanya mengurusi masalah ruhani masyarakat, namun juga masalah kompleks sehari-hari seperti kesejahteraan rakyat, politik, budaya, dan lain-lain. Dengan demikian, bertambahlah fungsi Batara sejak saat itu, meminjam istilah Islam, yakni sebagai 'ulama' (tokoh ruhani) sekaligus 'umaro' .



JATI SUNDA SEBAGAI ‘AGAMA’ PARA BATARA


Kini muncul sebuah pertanyaan baru. Sebagai tokoh ruhani, apakah 'agama' para Batara ?
Menilik berdasar istilah, 'batara' tentulah kental dengan ke-Hinduan yang dibawa dari India.
Bisa jadi para Batara di Galunggung beragama Hindu adanya. Tapi bisa jadi pula tidak, meski segala istilah meminjam unsur ke-Hinduan.
 

Danasasmita (2006) dalam tulisannya berjudul 'Batu Nyantra dari Tapos' memberikan informasi yang disepakati oleh Penulis, bahwa agama orang Pajajaran (Sunda, Parahyangan) mengandung tiga unsur utama, yakni 'Hinduisme', 'Budhisme', dan 'Jati Sunda' dengan pemuliaan para leluhur. Dari ketiga unsur tersebut, ternyata 'Jati Sunda' yang paling mendominasi.

Merujuk pada pendapat Saleh Danasasmita (2006) pada tulisan berjudul 'Batu Nyantra dari Tapos' dan 'Hubungan Sri Jayabupati dengan Prasasti Geger Hanjuang, Penulis akan mengulas tentang alam spiritual masyarakat Sunda kuno, terutama para Batara di Galunggung :

Berdasar istilah-istilah dan nama-nama yang terdapat pada prasasti dan naskah kuno lainnya, para ahli berpendapat bahwa agama yang berkembang di tatar Sunda adalah Hindu. Namun setelah diteliti, apabila Hindu yang dianut, maka Hindu orang Sunda berbeda dengan Hindu di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hindu di tatar Sunda tidak mengenal kasta, yang ada hanyalah feodalisme biasa.
 

Agama Hindu yang agak cocok dengan profil spiritual di tatar Sunda adalah Hindu Tantrayana, yakni perpaduan Hindu dan Budha, namun lebih mengarah ke Budha. Hal ini didukung oleh penemuan "Batu Nyantra" di Tapos, Bogor, pada tahun 1979, yang pada bagian atasnya terdapat goresan serupa gajah, dimana gajah adalah simbol aliran Tantrayana yang lebih mengarah ke Budhiisme.
Gambar gajah terdapat pula pada prasasti Kebon Kopi yang ditemukan di Kampung Muara, Cibungbulang, Bogor. Dengan demikian, Budhisme lebih dominan daripada Hinduisme dalam pengertian 'Siwaisme' pada masyarakat tatar Sunda kala itu.

Meminjam ungkapan Danasasmita, meninjau sejarah keagamaan di India, sebenarnya Budhisme dapat disebut sebagai salah satu aliran dalam agama Hindu. Sedangkan, agama Budha sendiri pada dasarnya lebih cenderung merupakan filsafat daripada agama. Ajaran agama Budha pada asal muasalnya tidak mengenal ritual ibadat karena menurut pahamnya keberhasilan mencapai nirwana semata-mata bergantung pada kebenaran karma (perbuatan) belaka.

Apa yang membedakan Budhisme dengan Hinduisme ialah watak Budhisme yang kosmopolit, dapat dianut oleh mereka yang bukan Hindu. Hinduisme pada dasarnya bercorak Aryan, bercorak khas Hindu, kerena menurut doktrin yang mendasarinya, seorang Hindu dilahirkan dalam kasta. Agama Budha tidak mengenal sistem kasta. Agaknya nilai-nilai Budhisme inilah yang menjadi bagian 'irisan' dengan falsafah asli Sunda, yaitu 'Jati Sunda'.
 

Menurut hemat Penulis, bukan Hinduisme atau Budhisme yang mendominasi alam spiritual orang Sunda, terutama para Batara di Galunggung. Hinduisme dan Budhisme hanya memperkaya khasanah spiritual dan bahasa. Logika sejarah mendukung pendapat Penulis, bahwa semenjak filtrasi besar-besaran ajaran Islam dari Cirebon dan Banten abad ke-16 di tatar Sunda, Hinduisme dan Budhisme begitu mudah sirna, sementara 'Jati Sunda' masih tetap ada dan hidup di hati masyarakat Sunda hingga detik ini. Jadi mana yang lebih berurat-berakar : Hinduisme - Budhisme atau 'Jati Sunda' ?

Ajaran 'Jati Sunda' mengajarkan keimanan kepada Tuhan Yang Satu, hidup sederhana (meurih), saling tolong menolong, bersahaja, dan 'kembali ke alam' atau 'back to nature', yakni bahwa alam dan manusia saling memberi sebab - akibat (Suganda, 2006).
 

Ajaran 'Jati Sunda' ini masih nampak kental pada beberapa komunitas masyarakat di wilayah tatar Sunda, diantaranya masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis, Kampung Dukuh dan Kampung Pulo di Garut, Kampung Urug di Bogor, Kampung Ciptarasa - Sirnarasa di Sukabumi, dan Kanekes di Banten. ‘Jati Sunda’, jika dianggap agama, maka agama ini mirip dengan agama Nabi Ibrahim as. Agama Ibrahim belum bernama Islam. Para ulama menyebut agama Ibrahim adalah agama Hanif, yakni agama ‘Jalan Lurus’.

Demikianlah, bahwa banyak istilah Kehinduan yang memperkaya khasanah bahasa di tatar Sunda, khususnya di kabuyutan Galunggung, yang faktanya tak terbantahkan. Begitu pula sumbangan ajaran Hinduisme dan Budhaisme yang memperkaya falsafah asli 'Jati Sunda'. 'Jati Sunda' agaknya sudah ada jauh sebelum Hinduisme - Budhisme dikenal di Galunggung.

'Jati Sunda' mungkinkah 'agama' yang dibawa para Parahyangan (leluhur awal) yang merapat di Galunggung pada jaman air seperti cerita yang ditutur oleh mendiang Aki Anang ? Benarkah cerita Aki Anang tentang hal ikhwal karuhun Sunda di Galunggung ? Kita semua masih menunggu jawaban ilmiah dari para ahli.

Kabuyutan Galunggung : masih misteri yang belum terpecahkan ...



DAFTAR PUSTAKA

Suganda, Her. 2006. 'Kampung Naga Mempertahankan Tradisi'. Penerbit PT Kiblat Buku Utama. Bandung

Danasasmita, Saleh. 2006. 'Hubungan antara Sri Jayabupati dan Prasasti Gegerhanjuang' dalam 'Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda' - Kumpulan makalah. Pusat Studi Sunda. Bandung

Danasismita, Saleh. 2006. Batu Nyantra dari Tapos' dalam 'Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda' - Kumpulan makalah. Pusat Studi Sunda. Bandung

Ekadjati, Edi. 2005. 'Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta'. Pustaka Jaya. Jakarta

Silsilah Aki Anang (R. Anang Daryan Jayadikusumah) ke Batara di Galunggung)




Sumber:
(Hamdan Arfani adlh Keturunan ke-13 Batara Gunawisesa)

Sabtu, 11 Februari 2012

FILOSOFI SEMAR



FILOSOFI SEMAR

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul

Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia

Filosofi, Biologis Semar

Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.

Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.

Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”.

Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.

Ciri sosok semar adalah :
Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya

Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.

Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .

Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi :
Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.

Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.

Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri

Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.

Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.

Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )

Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.

Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )

Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka

LATAR BELAKANG KEKERAMATAN KENDAN


LATAR BELAKANG KERAJAAN KENDAN
situs kerajaan kendan


“Ti Inya carek Bagawat Resi Makandria : ‘Ai(ng) dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan.’
Datang Siya ka Kendan.
Carek Sang Resi Guru:’Na naha beja siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?’
‘Pun sampun, aya beja kami pun. Kami me(n)ta pirabieun pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwuruwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang heunteu dianak.
Carek Sang Resi Guru: ‘Leumpang siya ti heula ka batur siya deui. Anakaing, Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, pideungeuneun satapi satapa, anaking.’
(Carita Parahyangan, Drs.Aca dan Saleh Danasasmita, 1981)

Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus dilarang atau dianggap “buyut”.

Mandala kendan sekarang terletak di kecamatan Nagreg, diatas ketinggian 1200dpl, dengan luas wilayah (± 4.930,29 Ha),yang terbagi atas : hutan rakyat (± 907,37 ha) dan tanaman tahunan/perkebunan (± 1.727,54 ha).
Status ke-mandala-an kendan sudah dipangku jauh sejak kerajaan karesian kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai tempatnya para resi luhung ilmu (diterangkan dalam naskah carita parahyangan).
Barulah kemudian tahun ±512 M, yaitu pada masa raja Tarumanagara ke-9 ; Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang Resi yang bernama Manik Maya seorang penganut hindu shiwa yang taat, atas penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana.

Daerah ini dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap dengan para prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan karesian dibawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah kerajaan yang berada dibawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu :


” Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan”

Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya. Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal ( Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa ). Berikut keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja di Kendan :

” Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung “

” ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang. Dialah yang membangun balairung besar”.
( Carita parahyangan, Atja,Danasasmita, 1983:37-38 )


Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manik Maya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Kangkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di Kendan.

Pada masa Wretikendayun terjadi perubahan berarti dalam perkembangan sejarah Kendan, yang diakibatkan adanya pewarisan tahta Tarumanagara kepada bukan wangsa warman. Pada tahun 669 di Tarumanagara dirajakan seorang muda Tarusbawa, putra daerah dari sundapura, ibu kota Tarumanagara saat itu. Diangkatnya Tarusbawa menimbulkan pergolakan dari kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara, Tarusbawa yang kemudian mendapat gelar Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya, karena keputusannya merubah nama Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda, semakin menimbulkan pergolakan. Yang pada akhirnya akibat dari perubahan tersebut, Wretikendayun sebagai Rajaresi Kendan memutuskan untuk me-Mahardika-kan diri, dengan mendirikan Kerajaan Galuh di ibu kota barunya, sebelah timur Kendan, yaitu diantara sungai Cimuntur dan Citanduy. sebuah surat dikirimkan kepada Tarusbawa yang berisi peringatan dan keputusan pemisahan daerah “Karunya Ning Caritra”, yang isinya “Mulai hari ini Galuh berdiri sebagai sebuah kerajaan yang Mahardika, tidak berada dibawah kerajaan pakanira lagi, janganlah pasukan tuan menyerang Galuh, karena pasukan Galuh jauh lebih kuat dari pasukan Sunda, ditambah Galuh di dukung oleh kerajaan-kerajaan disebelah timur Citarum…hendaknya kita rukun hidup berdampingan”
Atas keputusan tersebut maka pada tahun 670 M, berdirilah dua buah kerajaan besar di Jawa, dengan Citarum sebagai pembatasnya. Dari Citarum ke arah barat menjadi kerajaan Sunda sedang dari Citarum ke arah timur menjadi kerajaan Galuh. Sementara Mandala Kendan, tetap menjadi sebuah daerah yang dilindungi oleh kedua kerajaan tersebut. Kemudian hari Sunda dan Galuh pada masa Sanjaya dapat dipersatukan kembali, setelah terjadi pemberontakan dan perang saudara antar keturunan Galuh.

Perebutan, perubahan kerajaan tindak lantas merubah keadaan, Kendan tetap sebagai sebuah Mandala yang sepakat dilindungi. Namun kemudia sejak Pajajaran runtuh tahun 1579, status ke-mandala-an, mengalami perubahan, bahkan beberapa tempat seperti hal nya di Kanekes, tidak lagi diakui oleh para penguasa selanjutnya. Sejak saat itu berbagai kepentingan “penguasa” tidak lagi sejalan dalam melindungi “kesucian” Mandala.